Minggu, 26 Juni 2016

Cerita Bersambung BLDB 2

1<<Sebelumnya

2

16 tahun kemudian...
Mentari menyongsong pagi hari yang cerah, secerah senyuman Langit di pagi itu. Seperti biasa, Langit memulai harinya dengan senyuman. Satu hal kecil yang bisa membuat dirinya bahagia. Awali dengan senyuman. Begitu pikirnya.

Dan ya, kebahagiaan pun datang. Langit membuka jendela kamarnya untuk menghirup udara segar. tiba-tiba ayahnya sudah berdiri di luar rumah, tepatnya di depan kamar Langit, di hadapan Langit, dan memegang sebuah kue yang bertuliskan 'Selamat Ulang Tahun Anit', dan bertopi kerucut.

"Ayah?", tidak terkejut melainkan hampir tertawa.
"Ngapain ayah disitu?".
"Happy birthday Anit.", ayahnya tersenyum.
"Ayaaaahh, ayah gak perlu kayak gini, boros tauuu.", Langit merebut kuenya dari sang ayah.
Ayahnya bingung, apa yang dilakukan putrinya itu.... ANEH.
"Hahaha. ayah mukanya biasa aja dong, gak perlu di nyureng-nyurengin gitu.", ledek Langit.
"Gimana ayah gak nyureng, katanya boros, tapi kamu ambil kuenya?", ayahnya protes.
"Iya ayah, iya, Anit cuma bercanda kok. Sini ayah sini, kita makan kuenya.".
Ayahnya bingung lagi.
"Nah kan? ayah sih pake acara kesitu segala, kan masuknya repot.", Langit tak puas-puasnya meledek
ayahnya yang kebingungan.
"E e eh ayah.", ayahnya masuk lewat jendela yang luasnya sama dengan luas badan ayah Langit. Jadi sedikit susah untuk ayah Langit memasuki kamar Langit lewat jendela, tapi berhasil.
"Kata siapa repot?", ayahnya membanggakan diri.
"Mmmm. Ayah yang terbaik.", puji Langit.
Ayahnya tersenyum, dan langsung memeluk Langit. Tapi tidak. Niatnya dihentikan.
"Ayah tunggu! jangan peluk Anit!". Anit melirik ke kue yang sedang dipegangnya.
"Oke, sini.", Ayahnya mengambil kuenya dan meletakkannya di atas meja belajar Langit.
"Sekarang, ayah bisa memeluk kamu sepuasnyaaa.".

Mereka berdua terlelap dalam kebahagiaan. Tertawa.
"Selamat ulang tahun ibu.", sebuah kalimat yang keluar dari mulut Langit membuat ayahnya meneteskan air mata. Sebuah kesedihan yang terhapus oleh kebahagiaan yang sejati. Langit menghapus air mata ayahnya.
"Ayah gak boleh nangis ayah. Ayah gak malu sama Anit. Anit juga gak nangis.", Langit mencoba menghibur ayahnya.
Ayahnya mencium kening Langit, memeluknya lagi.

Hari yang bersejarah bagi keluarga sangat kecil ini. Hari dimana Langit lahir, hari dimana ibunya lahir dan juga meninggal. Sebuah kebetulan atau sebuah takdir? Entahlah.

Mereka berdua mengenakan pakaian serba hitam, mereka pergi berziarah. Tak ada kesedihan di wajah mereka. Canda tawa selalu mengiringi mereka, saat mereka menuju ke pemakaman sekali pun. Keluarga yang bahagia.

"Awas ayaaah!", tiba-tiba dari arah belakang sebuah mobil mewah hampir menabrak ayah Langit. Kaget. Bruk. mereka berdua terjatuh ke samping jalan yang berbatu itu.
"Aduh.", Langit meringis.
"Astagfirullah, Anit kamu gak papa?".
"Enggak ayah, ayah gak papa?", ayahnya menggeleng. "Bentar ayah.", Langit bangkit, "Tunggu Anit!", ayahnya memanggil Anit yang sedang menuju mobil yang hampir menabraknya. Mengetuk kaca mobilnya. Ayahnya menyusul.
Seseorang keluar dari pintu sopir mobil. Mengenakan seragam.
"Maaf neng, saya gak sengaja.",
"Maaf? Oke saya maafin bapak, tapi gimana dengan ayah saya, bapak liat lututnya luka?", Langit menunjuk lutut ayahnya yang sedikit memar.
"Sudah lah nit, ayah gak papa.",
"Ayah gimana sih? gak papa gimana? itu lutut ayah luka, bapak ini harus ganti rugi.", Langit kembali melirik ke orang yang tingginya sama dengan ayahnya itu.
Tiba-tiba kaca pintu mobil belakang terbuka. Setengah kepala seseorang keluar.
"Pak, ayo pak. Cepetan.", seorang pemuda seumuran Langit sedikit menyentak sopir mobil itu. Perhatian Langit teralihkan, sedikit kesal.
"Heh kamu, oh jadi ini sopir kamu? Kamu kalo jadi majikan tuh ingetin ke bawahan kamu, kalo punya salah harus tanggung jawab, dan kam...",
"Stop!", pemuda itu menghentikan Langit yang sedang berbicara. "Pak ayo jalan!", "Iya den.", Sopir itu mengangguk. Kaca mobil tertutup.
"E eh tunggu dulu!", Langit memasukkan tangannya, menghentikan kaca mobil yang akan tertutup.
"Sudah lah nit.", ayahnya mencoba menghentikan.
"Tunggu ayah! Ayah diem aja.",
"Apaan sih?", pemuda itu mulai emosi.


Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar